Kuningan, Beritapemberantaskorupsi.com –
Pembangunan besar-besaran di Kabupaten Kuningan kini mendapat sorotan tajam terkait adanya dugaan pelanggaran tata ruang, terutama dalam kasus perizinan Hotel Santika Premiere Kuningan.

Dimana hotel yang berlokasi di Kawasan Wisata Linggajati, Desa Bojong, Kecamatan Cilimus tersebut, diduga melanggar berbagai aturan, termasuk peraturan tata ruang dan perlindungan lahan pertanian.

Kasus ini pun tengah diselidiki oleh Ditreskrimsus Polda Jabar, dengan memanggil sejumlah pejabat terkait, untuk memberikan klarifikasi.

Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, mengungkapkan kepada media ini. Senin (21/10/24) bahwa pembangunan industri skala besar di Kabupaten Kuningan semestinya dikendalikan sesuai dengan arah kebijakan pembangunan daerah yang telah disepakati bersama.

“Kabupaten Kuningan ini merupakan Kabupaten Konservasi berbasis Pertanian dan Pariwisata yang berdaya saing, bukan untuk industri Skala besar,” tegasnya.

Bila merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan 2011-2031. Peraturan tersebut sudah secara tegas menyatakan bahwa hanya industri kecil, mikro, dan menengah yang berbasis pertanian dan kehutanan yang diizinkan beroperasi di daerah Kabupaten Kuningan.

Uha menilai bahwa masuknya beberapa industri besar, termasuk pembangunan Hotel Santika Premiere, jelas telah mengabaikan komitmen Pemerintah daerah, sehingga terjadi penyimpangan dari rencana awal tata ruang.

Selain itu, Pemerintah Daerah Kuningan belum pernah melakukan evaluasi maupun revisi kebijakan tata ruang secara menyeluruh sejak peraturan tersebut ditetapkan.

“Pemerintah Kabupaten Kuningan harus segera melakukan review terhadap kebijakan tata ruang, terutama dalam merespons masukan dari masyarakat dan penggiat lingkungan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Uha juga menanggapi adanya dugaan penyimpangan perizinan Hotel Santika Premiere yang dikaitkan dengan pengeboran dan pemanfaatan air bawah tanah untuk kolam renang serta perluasan area pembangunan yang melebihi denah yang telah diajukan ke Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD).

“Ini jelas-jelas melanggar Perda No. 7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan hal ini tidak boleh dibiarkan,” kata Uha.

Selain itu, uha juga menyoroti bahwa lokasi pembangunan berada di kawasan rawan bencana, termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang menambah risiko jika terjadi letusan gunung berapi.

Atas dugaan pelanggaran tersebut, pihak Polda Jabar telah memanggil sejumlah pejabat terkait, termasuk mantan dan pejabat aktif di bawah TKPRD, Kepala Desa Bojong, dan Camat Cilimus. Namun, Ketua TKPRD ( saat itu, Dr. Dian Rachmat Yanuar menjadi satu-satunya pejabat ) yang belum dipanggil untuk dimintai keterangan.

“Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas dan adil. Semua orang sama di depan hukum, sehingga Ketua TKPRD harus segera diperiksa,” tambah Uha.

Dugaan tindak pidana penataan ruang ini semakin menguat setelah ditemukan adanya bukti terkait surat rekomendasi yang dikeluarkan TKPRD untuk pembangunan hotel dan fasilitas pendukungnya, yang mencakup area seluas lebih dari 36.000 meter persegi.

Bukti permulaan menunjukkan bahwa rekomendasi perizinan tersebut tidak sesuai dengan kajian aspek tata ruang sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Kuningan 2011-2031.

Uha menekankan kolaborasi antara masyarakat dan penggiat lingkungan sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan di Kuningan tidak merusak ekosistem.

“Kami mendorong para aktivis lingkungan dan komunitas pecinta alam, seperti Aktivis Anak Rimba (AKAR), untuk bergandengan tangan dalam mengawal masalah ini dan memastikan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan,” seru Uha.

Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi aparat penegak hukum, tetapi juga bagi komitmen pemerintah daerah dalam mempertahankan prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkeadilan sosial.

Uha

LEAVE A REPLY

Please enter your name here
Please enter your comment!