JAKARTA–Indonesia merupakan negara yang menggunakan istilah negara hukum, seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Hukum memiliki suatu sistem dengan norma-norma yang mengatur perilaku manusia.
Dalam perkembangannya, konsepsi HAM
telah memberikan suatu pandangan baru akan
konsepsi pemidanaan dan penegakan hukum
pidana serta khususnya dalam penegakan hukum
di mana timbul pandangan-pandangan yang menginginkan suatu perlakuan yang humanis
terhadap tersangka dan terdakwa dengan
pandangan bahwa HAM adalah suatu hal yang
tetap melekat dan hanya bisa dicabut dengan kematian.
Pengaturan mengenai penanganan tersangka juga hak-hak tersangka diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Sistem yang dianut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
Acquisitoir yang dalam implementasinya sangat
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Terperiksa atau tersangka dipandang sebagai subjek bukan objek. Aspek kemanusiaan yang dianut tidak membenarkan segala bentuk paksaan, penekanan fisik maupun psikis.
Penyidik dituntut untuk profesional dan cerdas dalam memperoleh alat-alat bukti kuat mengarah kepada tindakan tersangka, bukan mendesak pengakuan tersangka melalui tekanan, paksaan dan penganiayaan.
Sitem Acquisitoir dapat dikatakan menjadi legitimasi terhadap perlindungan HAM dan
semakin menjamin pelaksanaan asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence).
Untuk itu, pengungkapan suatu tindak pidana tidak
mempedomani pengakuan tersangka tetapi yang
terpenting adalah memperoleh alat-alat bukti.
Jadi, meskipun Tersangka mengingkari seluruh
persangkaan kepadanya, itu tidak menjadi soal
sepanjang alat bukti sudah dipegang oleh Penyidik.
Sebaliknya, meskipun tersangka atau
terperiksa mengakui segala perbuatannya tetapi
bukti-bukti tidak ada maka tersangka atau terperiksa tidak dapat dijerat.
Kepolisian yang menjadi salah satu lembaga
negara yang memiliki peranan dan fungsi penting
untuk menegakkan hukum dalam suatu negara
hukum seperti Indonesia.
Tugas kepolisian sebagai alat negara adalah amanah yang harus dijalankan dan dilaksanakan sesuai ketentuan yang telah berlaku untuk mencapai tujuannya.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Hukum memberi wewenang kepada Polisi untuk menegakan hukum dengan berbagai cara yang ada.
Aparat penegak hukum dalam menegakan tugasnya saat proses penyidikan tersebut, tentunya harus melalui proses hukum yang benar sesuai dengan Peraturan KAPOLRI NOMOR 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polisi Negara Republik Indonesia.
Secara mendasar PERKAP Nomor 8 Tahun 2009 yang terdiri dari 64 Pasal ini dibuat agar seluruh jajaran POLRI dapat menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Inti dalam peraturan ini adalah panduan agar POLRI menerapkan prinsip dan standar HAM dalam tugasnya.
Dalam Pasal 3 disebutkan ada 12 prinsip HAM yang harus diemban oleh POLRI,
yakni perlindungan minimal, melekat pada manusia, saling terkait, tidak dapat dipisahkan, tidak dapat dibagi, universal, fundamental,
keadilan, kesetaraan/persamaan hak, kebebasan,
non-diskriminasi, dan perlakuan khusus bagi
kelompok yang memiliki kebutuhan khusus
(affirmative action).
Berangkat dari pemahaman bersama bahwa upaya mewujudkan penegakan hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat yang diemban oleh Negara adalah dengan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Dengan demikian, ideologi indonesia sebagai negara hukum akan benar-benar terwujud.
Dengan kehadiran Peraturan Kapolri tentang HAM tersebut, belum mampu menjawab tantangan untuk kepolisian dimana salah satunya menghendaki perlindungan HAM terhadap kinerja
Kepolisian.
Derasnya kritikan terhadap kinerja kepolisian dalam kaitannya dengan perlindungan HAM membuat seolah-olah Peraturan Kapolri
tentang HAM ini mati dalam implementasi.
Kritikan terhadap pemberlakuan peraturan
tersebut dibuktikan dengan beberapa contoh kasus yang telah mewarnai ketidakadilan dan ketidak profesionalan aparat penegak hukum dalam hal penanganan perkara, karena masih banyak Petugas Kepolisian yang memperlakukan
terperiksa sebagai objek dan melakukan
kekerasan.
Beberapa keluhan masyarakat tentang
adanya berbagai tata cara penyelidikan dan penyidikan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara yang dilakukan penyidik atau penyelidik yang bertentangan dengan nilai nilai HAM.
Tidak dapat dipungkiri, aparat hukum sering memakai arogansi lembaga dalam menindak lanjuti tersangka dan terdakwa, alhasil hak-hak mereka cenderung terkorban.
Padahal asas praduga tak bersalah menghendaki agar setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dihadapkan pada pengadilan wajib untuk dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan publik saat ini adalah HC (24) bersama TS (36) istri dan paman korban mengadukan peristiwa hukum yang dialami M.DAT (21) ke Dewas Dewan Pers Independen (DPI) Lilik Adi Goenawan serta Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Dra.Kasihhati terkait peristiwa yang dialami suaminya M.DAT (21) korban penembakan di Tapos, Cimanggis,Depok pada 29 Februari 2024 diduga dilakukan oleh oknum anggota Unit 2 Tahbang/Resmob Polda Metro Jaya.
Selanjutnya Dewas DPI dan Ketua Presidium FPII mendampingi HC dan TS ke Kantor Gerai Hukum ART dan Rekan pada 21 Maret 2024 di Gedung PKP POMAD Jl.Jamrud No.14 Kelurahan Kenari Kecamatan Senen Jakarta Pusat.
“Saya memohon keadilan kepada Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo terkait dugaan rekayasa kriminalisasi yang dialami suami saya dan saya telah memberikan kuasa khusus kepada Adv. Arthur Noija,SH dan rekan dari Kantor Gerai Hukum ART & Rekan dengan nomor Surat Kuasa :028/SK/Gerai Hukum/III/2024 dan segala hal tersebut saya serahkan ke penasehat hukum saya.” kata HC saat diwawancara awak media di RS.Polri Kramat Jati pada Jumat, (26/4/2024).
“Sebelum operasi M.DAT (21) dipaksa mengakui oleh oknum penyidik telah melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 KUHP yang terjadi pada 21 Februari 2024 sekitar pukul 20.10 Wib di Kelurahan Pedurenan Kec.Mustika Jaya Bekasi, fakta peristiwa hukumnya M.DAT pada saat itu sedang berada di rumah dalam keadaan sakit dengan diagnosa gejala dbd dibuktikan dengan surat keterangan dari kinik tempatnya berobat.” tegas Adv.Arthur Noija, SH saat diwawancara awak media pada Selasa, (7/5/2024).
“Paman M.DAT sudah membuat Surat Permohonan Penangguhan Penahanan yang diminta penyidik Unit 2 Tahbang/Resmob Polda Metro Jaya dan ada bukti tanda Terima tanggal 4 April 2024,namun jika dihubungi pihak penyidik tidak merespon, dan terakhir mendapatkan keterangan dari penyidik sedang dilengkapi kekurangannya.” ujar tegas Adv. Arthur Noija, SH.
“Sudah berulangkali M.DAT dibawa mondar -mandir dari Tahti Reskrimum Polda Metro Jaya ke RS Polri Kramat Jati, padahal jelas suami HC butuh perawatan insentif, Polisi malah berdalih negara sudah tidak ada anggarannya, lalu siapa yang bertanggung jawab jika suami klien kami merenggang nyawa di Sel Tahanan? ” tegas Adv. Arthur Noija, SH.
Adv.Arthur Noija, SH memaparkan saat ini M.DAT sudah kembali dirawat di RS.Polri Kramat Jati, Kantor Gerai Hukum ART & Rekan sebagai kuasa hukum dari HC istri korban dugaan penembakan yang dilakukan oleh oknum penyidik Unit 2 Tahbang /Resmob Polda Metro Jaya di Tapos Cimanggis Depok, sudah membesuk bersama pihak keluarga pada Senin, 6 Mei 2024.
Lanjut Arthur menjelaskan menurut keterangan HC istri MDAT, suami klien kami dibonceng oleh seseorang berinisial H di daerah Tapos, Cimanggis Depok pada Kamis tanggal 29 Februari 2024,Suami klien kami dan H ditangkap secara tiba-tiba oleh pihak kepolisian tanpa adanya tembakan peringatan, suami klien kami diikat tangannya lalu ditembak kearah perut oleh oknum anggota Resmob Unit 2 Tahbang Polda Metro Jaya.
“H sudah menjadi DPO pihak Kepolisian dan didapati membawa senpi illegal saat dilakukan penangkapan di daerah Tapos, Cimanggis, Depok.” Ujar Arthur.
” Suami klien kami di bawa ke RS.Bhayangkara Polri untuk mendapatkan tindakan medis, sebelum mendapatkan tindakan medis suami klien kami diberikan tekanan dan dipaksa agar mengaku bahwa sepeda motor yang dikendarai H adalah hasil pencurian.” imbuhnya.
” Bahwa suami klien kami di Rawat di RS Polri Kramat Jati diinformasikan pertama kali oleh oknum polisi yang menelpon TS pamannya dan baru dilakukan tindakan operasi pada 05 Maret 2024.” jelas Arthur.
“Kami menilai tindakan yang dilakukan oleh Penyidik adanya tindakan kesewenang-wenangan dan ketidakcakapan atas peristiwa tersebut, bahwa kami meminta dengan tegas agar dilakukan pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan terkait peristiwa tersebut.” Imbuhnya.
“Kami sebagai Penasehat Hukum dari HC Isteri M. DAT, telah mengirimkan Surat Permohonan Perlindungan dan Bantuan Hukum ke Kabid Propam Polda Metro Jaya, Direskrimum Polda Metro Jaya, Kepala Divisi Propam Polri, Inspektur Pengawas Daerah Polda Metro Jaya, Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri, Kabareskrim Polri, Kapolda Metro Jaya,Kepala Kepolisian Markas Besar Republik Indonesia.” tegas Arthur.
” Selanjutnya kami akan mengambil langkah tegas terkait dugaan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh oknum penyidik Unit 2 Tahbang/Resmob Polda (Tim/Red).
Sumber: Gerai Hukum ART & Rekan