Kuningan, Beritapemberantaskorupsi.com – Kasus dugaan asusila yang melibatkan seorang guru di Kabupaten Kuningan tengah menjadi sorotan publik. Namun, hingga saat ini, Kuasa Hukum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Kuningan, Forum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (FKKKS) Kabupaten Kuningan, serta Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Kabupaten Kuningan menyatakan belum mengetahui secara jelas duduk perkara yang tersebar di pemberitaan dan media sosial.

Dalam pernyataan resmi, Kuasa Hukum PGRI, FKKS, dan KORPRI Kabupaten Kuningan, Bambang L.A Hutapea SH.MH.C.med, menegaskan bahwa mereka akan segera mengambil langkah hukum yang sesuai. “Kami beserta Dewan Kehormatan Guru Indonesia akan memberikan pendampingan hukum kepada anggota guru dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bersangkutan di wilayah Kabupaten Kuningan. Upaya ini bertujuan agar proses hukum berjalan sesuai prosedur, dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah,” ungkap Banbang.

Menurut peraturan hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 411 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, tindakan perzinahan atau perselingkuhan didefinisikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya. Proses hukum terhadap tindak pidana perzinahan atau perselingkuhan hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan secara langsung, seperti suami, istri, anak, atau orang tua dari pelaku.

Terkait bukti-bukti yang dibutuhkan untuk memproses kasus seperti ini, Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan beberapa jenis bukti yang sah, di antaranya:

1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Bukti surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.

Di samping itu, bukti elektronik seperti foto, video, percakapan (chat), dan dokumen elektronik lainnya juga dapat digunakan untuk mendukung perkara ini, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XIV/2016. Bukti tersebut harus menunjukkan adanya tindakan yang mengarah pada perzinahan agar memenuhi unsur pidana dalam Pasal 284 KUHP atau Pasal 411 UU Nomor 1 Tahun 2023.

“Kami akan menyandingkan fakta dan kronologi kejadian dengan informasi yang benar dan sesuai dengan alat bukti yang disyaratkan dalam pasal-pasal yang berlaku,” ujar Bambang

Bambang selaku Tim kuasa hukum juga mengingatkan masyarakat untuk tidak serta-merta menerima atau menyebarkan informasi yang belum jelas sumber dan kebenarannya, karena hal tersebut dapat berpotensi sebagai pencemaran nama baik. Berdasarkan Pasal 310 KUHP juncto Pasal 434 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, pencemaran nama baik diancam dengan pidana selama 4 tahun. Adapun untuk pelaku penyebaran berita bohong (hoax), ancaman pidananya diatur dalam Pasal 390 KUHP juncto Pasal 506 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda hingga Rp200 juta.

Para pengurus PGRI dan FKKS juga meminta masyarakat untuk lebih bijak dalam menerima informasi dan menunggu hasil penyelidikan resmi dari pihak berwenang. “Kami ingin kasus ini terungkap secara transparan dan akurat, tanpa ada spekulasi yang merugikan berbagai pihak terkait,” tegasnya. (Ka – Biro GUNTUR).

LEAVE A REPLY

Please enter your name here
Please enter your comment!