PURWAKARTA, (BPK).- Oknum institusi Kejari Purwakarta diduga menjual dan menitipkan buku Pendidikan Anti Korupsi ke setiap SD di Kota “Istimewa”.
Jika hal ini benar terjadi sangat disayangkan. Sebab, Kejari tidak etis penegak hukum melakukan usaha jual-beli ke instansi pemerintah.
Hal tersebut dibenarkan kepala sekolah SD di Purwakarta, beberapa waktu lalu.
“Buku pendidikan anti korupsi dijual dan didrop langsung oleh pihak seksi xxxx Kejari Purwakarta. Kami tidak bisa menolak, tapi pembelian buku disesuaikan dengan cost masing-masing sekolah. Untuk tahun 2024 ini belum ada penjualan buku anti korupsi,” katanya.
Pengamat Kebijakan Publik Purwakarta, Agus Yasin, Selasa (30/1/2024) menyayangkan hal tersebut terjadi.
Adanya dugaan institusi hukum, dalam hal ini Kejari Purwakarta menjual langsung dan atau secara titipan ke tingkat pendidikan dasar ataupun menengah.
“Secara umum, institusi hukum tidak memiliki fungsi atau wewenang khusus untuk menjual produk, termasuk buku. Institusi hukum sejatinya lebih fokus pada penyediaan layanan hukum, penegakan hukum, dan administrasi keadilan,” katanya.
Namun, ada beberapa situasi di mana institusi hukum atau badan hukum tertentu, dapat terlibat dalam kegiatan penjualan buku.
“Dengan alasan antara lain penjualan sebagai bagian dari program edukasi, kegiatan amal atau pendanaan serta penjualan sebagai bentuk dukungan terhadap merek atau identitas institusi tersebut (merchandise),” ujarnya.
Agus menambahkan, mengacu pada Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan yang berbunyi :
“Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Penerbit yang dimaksud di atas adalah lembaga pemerintah atau lembaga swasta yang menyelenggarakan kegiatan penerbitan buku.
Kemudian, dengan jelas Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan menyebutkan sebagai berikut :
“Penjualan buku teks pendamping dan buku nonteks dilakukan melalui Toko Buku dan/atau sarana lain”.
Selanjutnya, Jika melihat aturan dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku (“Permendiknas 2/2008”), toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir”.
“Apabila dilihat dari definisi di atas, meskipun penerbit dan pengecer adalah entitas hukum. Maka institusi itu harus memiliki legalitas izin penerbitan buku dan penjualan secara terpisah,” katanya.
Lalu, bagaimana dengan yang bersifat titipan dari institusi hukum ?
Jelas merujuk pada ketentuan umum dan kepatutan tidak dibenarkan.
Yang harus diselidiki, apakah penitipan itu yang menjual langsungnya institusi hukum, dalam hal ini pihak Kejari Purwakarta. Ataukah sebagai fasilitator dari penerbit dan atau penyedia jasa bidang itu.
“Publik merasa prihatin kalau hal-hal berkaitan dengan pengadaan, termasuk pengadaan langsung buku ada campur tangan institusi di luar bagiannya. Hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk pengingkaran dari etika dan profesionalitas institusi hukum,” tuturnya.
Ketika dimintai tanggapan terkait pihak Kejari diduga menjual dan menitipkan buku pendidikan anti korupsi ke SD, SMP dan SMA Kasi Intel Kejari Purwakarta, Febrianto Ary Kustiawan membantahnya.
“Tidak ada penjualan buku dari kejaksaan. Karena kejaksaan tidak menjual buku. Kecuali majalah IAD yang dijual ke kejaksaan negeri saja. Majalah itu khusus ibu-ibu ikatan Adiyaksa Darma Kartini,” katanya. (Vans)