JAKARTA, (BPK).- Ucapan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung mengganti kepala kejaksaan tinggi (Kajati) karena menggunakan bahasa Sunda dalam rapat kerja di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 17 Januari 2022, dinilai sangat berlebihan.
Selain itu kata-kata sosok “wakil rakyat” dari Fraksi PDIP tersebut melukai penutur bahasa daerah, terutama bahasa Sunda.
Atas pernyataan sembrono tentang bahasa Sunda tersebut, ia pun kini menuai badai. Tak hanya menjadi sasaran hujatan dan kemarahan urang Sunda seperti yang terjadi dalam obrolan langsung maupun di media sosial, namun juga dari suku-suku lainnya di Indonesia.
Bahkan, urang Sunda yang merasa terusik mulai bergerak di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten. Pada Rabu 19 Januari 2022 mulai pukul 10.00 akan digelar unjuk rasa sebagai bentuk pernyataan sikap di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut Nomor 2, Kota Bandung.
“Kepada siapa pun masyarakat Sunda sebagai penutur bahasa Sunda, organisasi yang ada di Tatar Sunda, dan atau penutur bahasa daerah yang mempunyai perhatian dan komitmen pada bahasa daerah, juga media massa, kami mengundang untuk menyatakan sikap,” tutur Koordinator Pernyataan Sikap yang juga Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PP-SS) Cecep Burdansyah dan Ketua Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) Darpan, dalam pernyataan tertulisnya, Selasa 18 Januari 2022.
Menurut Cecep, pihaknya menuntut permintaan maaf Arteria Dahlan. Ia harus minta maaf kepada Jaksa Agung dan Kajati yang berbicara bahasa Sunda yang ia maksud, minta maaf kepada Penutur Bahasa Sunda, Penutur Bahasa Daerah, Pimpinan DPR, Pimpinan PDIP dan Fraksi PDIP.
“Kami juga memohon kepada pimpinan PDIP (Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Red)
untuk mengganti (pergantian antarwaktu/PAW) Arteria Dahlan,” ujar Cecep.
Cecep menyebutkan beberapa pertimbangan atas pernyataan Arteria Dahlan tersebut. Pertama, menggunakan bahasa Sunda dalam forum rapat oleh pejabat dianggap melanggar hukum.
Padahal, sesuai aturan, seorang pejabat negara baru bisa diberhentikan seandainya melanggar hukum pidana.
“Cara pandang Arteria Dahlan tentu berlebihan dan melukai penutur bahasa Sunda, bahkan penutur bahasa daerah, karena menganggap menggunakan bahasa Sunda (daerah) sebagai kejahatan,” kata Cecep.
Kedua, bahasa daerah diakui dalam konstitusi. Pasal 32 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Jadi siapa pun, baik pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah selayaknya menghormati dan memelihara bahasa daerah. Kajati yang bicara bahasa Sunda dalam rapat kerja tentu saja masih sejalan dengan konstitusi.
Ada pun bila dalam raker tersebut ada yang tidak paham atas apa yang dikatakan Kajati, ada cara untuk meminta Kajati mengulang pembicaraannya dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bukan dengan meminta diganti.
“Pernyataan meminta Jaksa Agung mengganti Kajati jelas merupakan sikap politik yang tidak terpuji dan mengingkari konstitusi,” ujarnya.
Ketiga, pernyataan Arteria Dahlan disaksikan oleh sesama anggota DPR dan rakyat melalui media.
Dikhawatirkan sikap tersebut menular dan jadi sikap politik para politikus dan kader partai di Tanah Air, sehingga peminggiran terhadap bahasa daerah perlahan tapi pasti menggiring pada
kematian bahasa daerah.
“Perlu diingat, meskipun sudah termaktub dalam konstitusi dan regulasi turunannya, implemengasi di lapangan, penghormatan dan pemeliharan bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional masih jauh dari harapan,” kata Cecep.
Keempat, pernyataan tersebut juga kontraproduktif bagi partai tempat bernaung Arteria Dahlan. Sebagai partai yang mengusung nasionalis dan menghormati kemajemukan, pernyataan Arteria Dahlan justru berlawanan dengan visi partai dan secara politik merusak citra partai.
“Sehingga lambat laun kehilangan masa depan karena ditinggalkan konstituen,” ucap Cecep.
Kelima, pernyataan Arteria Dahlan juga jelas berlawanan dengan visi misi DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan aspires rakyat, bahkan pada akhirnya merusak citra dan kehormatan lembaga DPR.
Meskipun Arteria Dahlan ada di Komisi III yang membidangi hukum, seharusnya dia
menghormati Komisi X yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Pernyataan Arteria jelas menunjukkan ego sektoral yang mengakibatkan rusaknya marwah DPR,” ujar Cecep.
Sebelumnya, Arteria mengkritik seorang Kajati yang berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda saat melaksanakan raker pada Senin, 7 Januari 2022. Ia meminta Jaksa Agung menindak tegas Kajati tersebut dengan menggantinya.
“Ada kritik sedikit, ada Kajati yang dalam rapat itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti Pak itu. Kita ini Indonesia, jadi orang takut kalau ngomong pakai bahasa Sunda ngomong apa dan sebagainya. Kami mohon sekali yang seperti ini dilakukan penindakan tegas,” kata Arteria. (Red)